Permadani Hijau Deleng Sibuaten

Posted by Mr. Blue Minggu, 16 Januari 2011 3 comments
Seorang teman membuat rencana dan persiapan perjalanan ke Deleng Sibuaten. Kebetulan, gunung ini sudah lama menjadi incaran pendakian bagiku. Sibuaten mempunyai keunikan tersendiri dibanding gunung-gunung lain di Sumatera Utara. Alamnya masih asri, vegetasinya khas, jalurnya menantang, ditambah panoramanya yang menawan. Mereka bilang begitu. Aku masih harus membuktikannya.

Gunung (Deleng) Sibuaten adalah salah satu gunung yang berada di sekitar Danau Toba, dan termasuk ke dalam Tumor Toba. Terletak di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, berdasarkan peta topografi keluaran Bakorsurtanal, gunung ini memiliki ketinggian 2.457 meter dari permukaan laut (mdpl).

Dari Medan, kami menuju Desa Naga Lingga, Kecamatan Merek, dengan menumpang sebuah angkutan umum jurusan Medan-Sidikalang. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk tiba di desa ini. Setelah membayar ongkos Rp 15.000 per orang, kami pun tiba di Naga Lingga. Tentu saja saya tak perlu menggambarkan lagi pada Anda pemandangan yang sejuk sejak memasuki Kota Berastagi.

Sipiso-piso dan Sibuaten

Desa Naga Lingga adalah desa terdekat dengan rute pendakian yang kami pilih. Ada sekitar 200 kepala keluarga menetap di pemukiman yang berada di sebelah timur laut Gunung Sibuaten ini. Desa Naga Lingga dihuni oleh campuran suku Karo dan Toba yang pada umumnya adalah petani. Dari tatapan mata penduduk, kami yakin kalau mereka belum terbiasa dengan pendaki yang melintasi desanya.

Dari Desa Naga Lingga, kami berjalan sekitar 30 menit menuju pintu rimba dengan menyusuri jalur pedati. Kendaraan tradisional pedati memang alat pengangkutan yang paling efektif untuk lokasi yang kami lewati. Sepanjang jalan menuju pintu rimba, kami dapat menyaksikan dari dekat aktivitas masyarakat di ladangnya. Di antara hamparan kebun sayur-mayur, sesekali terlihat tanaman jeruk dan kopi.

Menuju pintu rimba, aku terkesan dengan bentang alam yang terhampar, dengan Deleng Sipiso-piso di belakang dan Deleng Sibuaten di depan. Deleng adalah sebutan masyarakat sekitar untuk sebuah gunung.

”Ambil saja,” seru seorang wanita setengah baya menawarkan buah tomatnya yang sedang ranum. Dan bukan cuma dia yang menawarkan hasil ladang pada kami sepanjang perjalanan. Orang-orang di sini sangat murah hati.

Pintu rimba Deleng Sibuaten berada pada kaki sebuah bukit kecil yang akan menghantar pendaki ke puncak gunung. Sebuah anak sungai menyambut kami dengan air yang bening. Altimeter menunjukkan ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut.

Setelah melakukan orientasi sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan. Lebatnya vegetasi hutan segera saja menelan kami di bawahnya. Faisal, temanku, yang sudah pernah sekali ke gunung ini memimpin di depan. Sementara Suban, Yanti, Risna, Tari dan Aku mengekor di belakangnya.

Perang dengan Sipiso-piso
Setelah satu jam berjalan, kami tiba pada ketinggian 1.700 mdpl. Jalan setapak sampai titik ini masih sangat jelas karena sering dilalui penduduk untuk mencari rotan dan berburu. Aku melihat sebuah tempat yang cukup lapang untuk mendirikan tenda dengan anak sungai kecil di sebelahnya. Anak sungai ini adalah sumber air terakhir sebelum ke puncak. Artinya, kami harus membawa persediaan air dari tempat yang biasanya dijadikan camp I ini.

Botol-botol air sudah berisi penuh. Sekarang beban kami berlipat ganda. Rombongan kemudian merayapi punggungan Gunung Sibuaten. Menurut cerita rakyat setempat, deleng ini pernah berperang. Alkisah, pada zaman dahulu kala, Deleng Sibuaten terlibat perselisihan dengan tetangganya, Deleng Sipiso-piso.



Dalam peperangan tersebut, Deleng Sibuaten harus kehilangan topinya setelah terkena sabetan pisau Deleng Sipiso-piso. Tak dapat menerima kekalahannya, Deleng Sibuaten mengadu ke Deleng Sibayak yang memiliki semburan api mematikan.

Sibayak pun berang dan dengan sekuat tenaga dia menyemburkan apinya hingga membakar Sipiso-piso. Badan Sipiso-piso pun hangus terbakar, kecuali kepalanya. Jadilah Sipiso-piso seperti sekarang, yang hanya punya pepohonan di daerah puncaknya. Sementara, topi Deleng Sibuaten yang terkena sabetan pisau jatuh di daerah Silalahi dan menjadi sebuah gunung kecil.

Kami hanya punya waktu satu malam untuk berakhir pekan di deleng ini. Jadi kami tidak berencana bermalam di camp I. Dari sumber air terakhir, jalur pendakian mulai samar. Maklum, aktivitas hiking ke gunung ini masih terhitung jarang. Faisal tak mau ambil risiko. Dengan rutin ia memelototi peta, kompas dan altimeter. Beberapa kali kami harus mengikatkan tali rapia berwarna kuning pada jalur yang kami anggap rawan, sebagai tanda.

Hutan Lumut, Anggrek dan Kantung Semar
Sekitar 1,5 jam berjalan, kami tiba pada ketinggian sekitar 1.900 mdpl. Di sini, rombongan menyempatkan diri beristirtahat sejenak, menghimpun tenaga untuk melalui jalur yang semakin sulit di depan. Tempat ini terasa sangat lembab. Banyak tanaman lumut menempel pada pepohonan. Pakaian di tubuh kami hampir semua basah oleh butiran air saat harus mengendap-endap di bawahnya.

Dengan nafas yang masih agak memburu, kami melanjutkan perjalanan. Altimeter bergerak berlahan menunjuk angka yang semakin besar. Aku menikmati berbagai jenis tanaman kantung semar (Nepenthes) yang tumbuh di sembarang tempat. Ada yang tumbuh dan tetap di permukaan tanah, tetapi ada juga yang hidup merambat pada pepohonan. Berbagai jenis serangga kecil terjebak pada kantungnya. Sepertinya, tanaman yang sedang naik daun sebagai tanaman hias di Eropa ini tak pernah kurang gizi di hutan Sumatera.

Selain Nephentes sang pemangsa serangga, aku juga menemui beberapa jenis anggrek dengan berbagai ukuran dan warna. Kebanyakan tanaman ini tumbuh menempel pada tanaman lain, tetapi ada juga yang tumbuh di tanah. Sayang, dari kami berenam, tidak ada yang paham tentang jenis-jenis anggrek.

Pada ketinggian sekitar 2.250 mdpl, tim pendaki kembali harus berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Kali ini di sebuah tempat yang agak terbuka setelah melewati punggungan yang tipis. Kami telah menempuh medan yang sangat curam dengan vegetasi yang sangat rapat. Sangat sukar menembus jalur yang kadang tidak jelas.

Tapi di lokasi peristirahatan ini kami menemukan perubahan pada tumbuhan sekitarnya. Vegetasi mulai terlihat agak seragam, baik dari segi jenis maupun ukurannya. Hanya terdapat beberapa pohon berukuran kecil dengan tanaman perdu-perduan. Walaupun demikian, semua tumbuhan tersebut masih dihiasi lumut pada hampir setiap bagian tubuhnya.

Dari tempat yang agak terbuka, aku dapat menyaksikan lampu-lampu Desa Merek yang mengabarkan senja. Tak banyak waktu yang kami luangkan untuk istirahat. Selain menghemat waktu pendakian, terlalu lama berdiam di hutan lumut ini bisa membuat kami membeku.

Puncak Timur
Hampir pukul 21.00 WIB ketika kami tiba pada ketinggian sekitar 2.380 mdpl. Ini berarti enam jam sudah kami berjalan menyusuri gunung. Lega rasanya setelah melewati hutan lumut. Kini pemandangan didominasi oleh perdu-perduan rendah yang kadang hanya setinggi orang dewasa. Kami semakin dekat dengan puncak.

Biasanya, sebuah pendakian selalu kami akhiri antara pukul 17.00-18.00 WIB untuk menjaga stamina fisik dan kenyamanan perjalanan. Hari ini, kebiasaan tersebut terpaksa dilanggar. Pertama, pada ketinggian 2.050-2.380 mdpl yang telah kami lalui, kondisi medan sangat curam. Hal ini membuat sulit mencari tempat yang datar dan cukup untuk menampung enam orang dalam satu tenda.

Selain itu, vegetasinya sangat rapat. Bila kami memaksakan diri membuka tenda, maka beberapa tanaman harus ditebas untuk melapangkan lokasi. Bayangkan bila setiap pendakian melakukan hal ini. Keasrian Deleng Sibuaten akan terganggu.

Alasan kedua, jika terus mendaki meski kondisi jalur kurang jelas dan lambat, setidaknya kami akan terus mengurangi jarak ke puncak. Ketiga, bermalam di hutan lumut ini sepertinya tidak akan membuat tidur kami nyeyak.

Dari ketinggian 2.380 mdpl, tim pendakian terus merangkak berlahan menembus rimbunnya tanaman perdu. Semakin lama, perdu-perduan makin kerdil sampai hanya sebatas lutut orang dewasa. Sekitar 20 menit berjalan, kami akhirnya tiba di sebuah hamparan tanaman perdu yang cukup luas. Di tempat terbuka ini, perdu tak lebih tinggi dari batas pinggang. Altimeter menunjukkan ketinggian 2.439 mdpl. Ini berarti kami sudah sampai di puncak timur Deleng Sibuaten.

Menurut perhitungan, hanya butuh sekitar 45 menit dari sini ke puncak 2.457 mdpl. Kami memutuskan menginap di sini, mengingat kondisi fisik yang sangat letih. Udara dingin segera saja menusuk tulang.

Menara Pemantau
Keesokan harinya, pagi sekali, kami sudah melepas sleeping bag. Tidak ada pendaki yang mau kehilangan indahnya sunrise di Deleng Sibuaten. Apalagi cuaca cukup baik pagi ini.

Nun jauh di ufuk timur, di balik pegunungan yang membalut Danau Toba, matahari pagi muncul perlahan-lahan seperti kehadiran maharaja menuju tahta. Kicauan burung menyambut seperti ritual bumi yang paling kekal. Terasa sangat dramatis di sini.

Sembari menyiapkan sarapan, aku tak henti-hentinya kagum dengan apa yang kami saksikan. Ekosistem Sibuaten memang masih asri. Harus kuakui. Di sebelah timur, sisi barat Danau Toba dan Pulau Samosir meremang di sela-sela kabut pagi.

Di sebelah utara, Gunung Sinabung dan Sibayak menyapa siang seperti dua raksasa buncit yang malas. Sementara di sisi selatan, lampu-lampu Kota Sidikalang tampak semakin redup sampai akhirnya padam sama sekali. Kehidupan dimulai lagi.

Hanya pemandangan ke sisi barat gunung yang tidak dapat disaksikan dari Puncak Timur. Di sana, Puncak Barat memblok mata seraya menyembunyikan satu lagi panorama yang akan menjadi tujuan akhir kami. ”Seperti menara pemantau saja!” ujar Tari.

Pukul 08.30 WIB, setelah sarapan, kami bergegas meninggalkan Puncak Timur. Lalu menyusuri sebuah punggungan kecil menuju Puncak Barat. Jalan menuju puncak ini melalui sedikit hutan lumut dengan pepohonan yang tidak terlalu tinggi.

Sepanjang itu, kami kembali menjumpai berbagai jenis kantung semar dan anggrek liar. Dan menjelang Puncak Barat, setelah sekitar 30 menit berjalan, tanaman perdu yang cukup rendah kembali menggantikan vegetasi sebelumnya. Panorama dari tempat ini tak kalah menarik, ditambah jurang di sebelah kiri kanan. Aku merasa seperti berada di atas kehidupan beralaskan permadani hijau.

Sekitar 45 menit berjalan turun naik, akhirnya kami tiba di puncak Deleng Sibuaten yang sebenarnya. Sebuah pilar beton bertuliskan SEC TRIANG No. 191 setinggi kurang lebih 1,5 meter menyambut siapa saja yang menjejakkan kaki di sini. Pilar ini merupakan tanda triangulasi dengan ketinggian 2.457 mdpl.

Vegetasi di sekitar pilar hanya pepohonan kecil yang cenderung homogen. Dari tempat ini, kami dapat menyaksikan bentangan hutan yang masih sangat hijau di bawah sana. Entah sampai kapan bentangan itu bertahan sebagai permadani hijau.

Walau jauh terpencil, tapi pilar Gunung Sibuaten tak luput jua dari aksi vandalisme. ”Makumba” tertulis dengan sengaja pada pilar itu. Entah apa artinya.

Kami berpose bersama di dekat pilar. Bagi pendaki sejati, akan lebih baik menunjukkan selembar foto dari pada membawa turun setangkai bunga anggrek dari gunung. Selesai mengumpulkan sampah bekas makanan kaleng pendaki terdahulu, kami pun bergegas turun.

Satu harapan telah kutinggalkan di puncak. ”Tuhan, pertahankanlah keasrian Gunung Sibuaten dari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Itupun bila Engkau masih mau mendengarkan permohonan kami”. ***

sumber: http://www.tanahkaro.com/

3 comments:

Unknown mengatakan...

good artikel mas bro...
jangan lupa mampir ke blog ku yo mas..

http://mgmplampung.blogspot.com/2014/01/dampak-buruk-rokok-bagi-kesehatan.html

tak tunggu partisipasine....

Unknown mengatakan...

http://mgmplampung.blogspot.com

Unknown mengatakan...

nike air jordan 4 retro sale After the air jordan 4 uk hand grabbed the collar, lead growled chased out of the way. I do not know the grandmother of poor quality clothes or chased too much effort, nike air jordan 4 retro sale rip it nike air jordan 4 retro sale soon, grandma's clothes were torn piece of cloth down, but still nike air jordan 4 retro sale closely guarding his grandmother tricycle, cheap nike air jordan 4 shoes crying would not let him move.

Posting Komentar

Gelah ermajuna blogta enda mari radu ras kita mekenasa. Tadingken sitik katandu jenda sope lenga kam nading ken blog enda. Bujur Tuhan simasu-masu kita kerina